Panrita tanah to kamase-masea (kajang Ammatoa)
Hidup Sederhana
•Ammentengko
nu kamase-mase, accidongko nu kamase-mase, a‘dakkako nu kamase-mase,
a‘meako nu kamase-mase artinya; berdiri engkau sederhana, duduk engkau
sederhana, melangkah engkau sederhana, dan berbicara engkau
sederhana.•Anre kalumannyang kalupepeang, rie kamase-masea, angnganre na
rie, care-care na rie, pammalli juku na rie, koko na rie, bola
situju-tuju. Artinya; Kekayaan itu tidak kekal, yang ada hanya
kesederhanaan, makan secukupnya, pakaian secukupnya, membeli ikan
secukupnya, kebun secukupnya, rumah seadanya .•Jagai lino lollong
bonena, kammayatompa langika, rupa taua siagang boronga. Artinya;
Peliharalah dunia beserta isinya, demikian pula langit, manusia dan
hutan.
Sabtu, 30 Januari 2016
Mengenal Lebih Dekat Budaya Tana To Kamase-masea Kajang
Suku Kajang adalah salah satu suku yang tinggal di pedalamanKabupaten Bulukumba. Daerah
tersebut dinamakan Tana Toa yang berarti tanah yang tertua. Hal itu
dikarenakan kepercayan masyarakatnya yang meyakini daerah tersebut
sebagai daerah tertua dan pertama kali diciptakan oleh Tuhan di muka
bumi ini. Bagi mereka, daerah ini dianggap sebagai tanah warisan
leluhur.
Setiap hari, Masyarakat adat kajang menggunakan bahasa konjo sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa konjo termasuk
bahasa Makassar yang berkembang dalam satu komunitas masyarakat. Pada
umumnya masyarakat Desa Tana toa, tidak pernah merasakan bangku
pendidikan secara formal. Maka tak heran, sangat sulit ditemukan
masyarakat di kawasan ini yang mampu berbahasa Indonesia.
Meski demikian, suku Kajang mempunyai struktur kelembagaan. Bahkan,
semua individu yang mendapat posisi dalam struktur tersebut,
melaksanakan amanah secara jujur, tegas dan konsisten. Mereka paham arti
tugas dan tanggung jawab. Pemimpin mereka disebutAmmatoa, pelajaran mereka dapatkan dari alam sekitar.
Ketika Ammatoa meninggal, maka pemimpin adat berikutnya akan dipilih setelah tiga tahun lamanya. Para calon Ammatoa dikumpulkan,
kemudian seekor ayam dilepaskan. Ketika ayam tersebut hinggap pada
salah seorang calon, maka dialah yang menjadi pemimpin adat berikutnya.
Dalam hal perkawinan, masyarakat Tana Toa harus kawin dengan sesama
masyarakat kawasan tersebut. Jika tidak, dia harus meninggalkan kawasan
adat.
Masyarakat Tana Toa Kajang juga dicirikan dengan pakaiannya yang serba
hitam. Menurut mereka, pakaian hitam tersebut memiliki makna
kebersahajaan, kesederhanaan, kesamaan atau kesetaraan seluruh
masyarakatnya. Selain itu, pakaian hitam juga dimaksudkan agar mereka
selalu ingat akan kematian atau dunia akhir.
Makna kesetaraan tidak hanya dapat dilihat dari cara mereka berpakaian,
akan tetapi juga dari bentuk bangunan rumah yang ada di kawasan ini.
Semua model, ukuran serta warnanya terkesan seragam, beratap rumbia
serta berdinding papan. Kecuali rumah Ammatoa yang dindingnya
menggunakan bambu. Di sekitar rumah Ammatoa tersebut, semua pemukiman
Warga menghadap kearah kiblat.
Di kawasan ini, pengunjung tidak akan menemukan satu rumah pun yang
berdinding tembok. apalagi bangunan yang memiliki berbagai model seperti
bangunan mewah yang sering kita lihat . didalam rumah, tak satupun
barang elektonik. modernitas dianggapnya sebagai pengaruh buruk yang
dapat menjauhkan mereka dengan alam dan para leluhur.
Masyarakat Tana Toa percaya bahwa bumi ini adalah warisan nenek moyang
yang berkualitas dan seimbang. Oleh karena itu, anak cucunya harus
mendapatkan warisan tersebut dengan kualitas yang sama persis.
Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, masyarakat adat memegang teguh ajaran leluhur yang disebutpasang ri kajang yang berarti pesan di kajang. Ajaran pasang itu, dinilai ampuh dalam melestarikan hutan.
Selaku pemimpin adat, Ammatoa membagi hutan dalam tiga bagian. Yaitu, hutan keramat “hutan karamaka”, hutan perbatasan “hutan batasayya” serta hutan rakyat “hutan laura”.
Selaku pemimpin adat, Ammatoa membagi hutan dalam tiga bagian. Yaitu, hutan keramat “hutan karamaka”, hutan perbatasan “hutan batasayya” serta hutan rakyat “hutan laura”.
Hutan keramat diakui sebagai hutan pusaka dan dijadikan kawasan hutan
larangan untuk semua aktifitas, kecuali kegiatan ritual. Hutan ini
sangat dilindungi, mereka meyakini kawasan ini sebagai tempat turunnya
manusia terdahulu yang juga lenyap di tempat tersebut. Masyarakat juga
yakin, hutan ini tempai naik turunnya arwah dari bumi kelangit.
Apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan hutan yang seluas 317,4
hektar ini, maka akan dikenakan denda Rp.1.200.000 di tambah dengan
sehelai kain putih serta mengembalikan barang yang telah diambil dari
daerah tersebut.
Hutan perbatasan merupakan hutan yang bisa ditebang beberapa jenis kayunya, akan tetapi harus dengan izinAmmatoa dan
kayu yang diambil dari kawasan itu hanya untuk membangun fasilitas
umum, serta untuk rumah bagi komunitas Ammatoa yang tidak mampu.
Selain demikian, sebelum melakukan penebangan pohon, orang tersebut
diwajibkan melakukan penanaman sebagai penggantinya. Ketika sudah tumbuh
subur, penebangan baru akan dilakukan dengan menggunakan alat
tradisional serta mengangkatnya secara gotong royong keluar dari areal
hutan.
Nah, apabila seorang menebang kayu di kawasan ini tanpa izin, maka
dikenakan denda 800 ribu rupiah. Dan ketika terjadi kelalaian yang
menyebabkan kerusakan hutan, dikenakan denda 400 ribu rupiah. Kedua
denda tersebut dilengkapi dengan sehelai kain putih.
Yang terakhir adalah hutan rakyat, meskipun hutan ini dikuasai dan di
kelola oleh rakyat. Tapi hukum adat masih tetap berlaku. Denda atas
pelanggaran di kawasan ini sama dengan denda hutan perbatasan.
Selain sanksi denda, orang yang melakukan pelanggaran tersebut juga
dikenakan hukum adat berupa pengucilan. Yang lebih parahnya lagi,
pengucilan tersebut berlaku bagi semua keluarga sampai generasi ketujuh.
Selanjutnya, ada dua bentuk ritual yang dijalankan oleh suku kajang apabila terjadi kasus pencurian, yaitu tunu panroli dan tunu passau.
Tunu panroli yaitu
mencari pelaku pencurian dengan cara seluru masyarakat memegang linggis
yang membara setelah dibakar. Masyarakat yang tidak bersalah, tidak
akan merasakan panasnya linggis tersebut.
Tapi, apabila sang pencuri melarikan diri, maka dilakukanlah tunu Passau yaitu Ammatoa membakar
kemenyan sambil membaca mantra yang dikirmkan kepada pelaku agar jatuh
sakit dan akhirnya meninggal dunia secara tidak wajar.
Luas Desa Tana Toa, 331,17 hektar dan terbagi menjadi dua yaitu suku Kajang luar
dan Kajang dalam. Masyarakat Kajang luar, tersebar dan menetap di tujuh
dusun. Sementara masyarakat Kajang dalam tinggal di satu dusun yaitu
Benteng. Di dusun Benteng inilah, masyarakat Kajang secara keseluruhan
melakukan segala ritual dan aktifitas yang berkaitan dengan adat
istiadat.
Meski suku ini terbagi kedalam dua kelompok, akan tetapi tidak ada
perbedaan diantara mereka. Semuanya berpegang teguh terhadap ajaran
leluhur.
Lokasi
Secara geografis, suku Kajang berada di wilayah Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Sekitar 56 kilometer dari pusat kota Bulukumba.
Berkunjung ke Kabupaten Bulukumba, belum lengkap tanpa memasuki kawasan adat Tana Toa yang merupakan salah satu tempat wisata budaya Sulawesi. Mengunjungi
peninggalan megalitik milik masyarakat kajang serta mempelajari
kearifan dalam melestarikan budaya yang bertahan ratusan bahkan ribuan
tahun itu.
Para pengunjung yang datang di daerah ini, harus mengikuti aturan adat
yang berlaku. Tidak boleh menggunakan kendaraan modern, anda hanya boleh
menunggangi kuda atau berjalan kaki. Pengunjungpun harus mengikuti khas
pakaian adat kajang yang berwarna hitam itu.
Melihat Kampung adat kajang ammatoa
Masyarakat adat Kajang AmmaToa merupakan
salah satu suku tertua yang sangat terkenal di Sulawesi selatan. Budaya
dan kehidupan sosial masyarakatnya yang unik menjadi daya tarik bagi
para wisatawan mancanegara yang membanjiri daerah ini setiap tahunya.
Kajang terbagi menjadi dua wilayah, kajang dalam dan kajang luar.
Wilayah kajang luar merupakan wilayah yang menerima modernisasi,
sedangkan wilayah kajang dalam merupakan wilayah adatyang mempertahankan tradisi dan menolak modernisasi.
Gaya
hidup yang bersandar pada petuah dan ajaran-ajaran leluhur sebagai
pandangan hidup masih dipegang teguh sampai sekarang . Berpakaian
hitam-hitam dilengkapi penutup kepala yang juga berwarna hitam atau
biasa disebut pasappu dalam bahasa setempat, dan sarung berwarna hitam
atau disebut Tope lelleng Komunitas adat yang bisa di jumpai di
kabupaten Bulukumba sekitar 190 km dari Makassar ibu kota Sulawesi Selatan ini
di pimpin oleh seorang tetua terpilih dengan sebutan AmmaToa yang
dibantu oleh 26 pemangku adat atau disebut Galla (mentri) yang memiliki
tugas masing-masing.
Saat ini Kajang di pimpin oleh AmmaToa yang ke 22 yang bertanggung jawab
penuh menjaga adat dan tradisi bisa berjalan selaras dengan alam.
Selain itu AmmaToa juga bertindak sebagai pemimpin spiritualis
tertinggi. Kami pun sempat berbincang dengan pemimpin yang murah senyum
dan berwibawah ini, beliau menjelaskan tentang bagaimana menyelesaikan
perselisihan dan semua hal aspek kehidupan melalui musyawarah di rumah
besar. Tentu saja menggunakan bahasa Konjo melalui perantara Galla
(Mentri) yang memang bertugas menyambut dan menemani tamu.
0 komentar:
Posting Komentar